Senin, 18 Maret 2013

Tidak otoriter, Tidak pula terlalu Demokratis



Tidak selamanya pelanggaran yang dilakukan oleh siswa terjadi karena mereka tidak taat peraturan. Ada juga pelanggaran yang dilakukan siswa akibat kurangnya rasa memiliki terhadap peraturan itu. Mereka merasa bahwa peraturan sekolah ada hanya untuk memaksa mereka. Pemahaman bahwa peraturan itu ditegakkan demi kebaikan warga sekolah, termasuk bagi diri mereka, sangatlah minim. Akibatnya, mereka patuh hanya ketika ada guru. Begitu guru tak mengawasi, mereka akan merasa bahwa saatnya telah tiba untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran yang menyenangkan hati mereka dalam keadaan semacam ini, harus ditumbuhkan budaya musyawarah dan dialog.
            Sekolah dapat memulainya dengan melibatkan siswa dan guru dalam membuat peraturan. Misalnya dengan mengadakan musyawarah dengan serentak, hingga tidak ada satupun siswa yang tidak terlibat. Di situ semuanya boleh berpendapat.
            Meski demikian, tetap ada sesuatu perhatikan dalam hal ini. Pelibatan siswa dalam pembuatan peraturan jangan sampai terjebak pada kesepakatan model “demokrasi murni” : yang menang dan yang berkuasa adalah peraturan yang dilahirkan oleh suara terbanyak. Membiarkan berlangsungnya tirani mayoritas tidaklah tepat dalam konteks ini, karena bisa-bisa sekolah malah kehilangan visi dan misi sebagai lembaga pendidikan. Padahal, bukan lembaga pendidikan namanya, jika tak memiliki visi dan misi.
            Selain itu, model demokrasi nurani juga sangat mungkin melahirkan “pemufakatan kaum maling” . Ibaratnya, bila semua warga disebuah kampung adalah para pencuri atau maling, maka peraturan yang tegak disana adalah peraturan kaum maling. Nah, jika peraturan seperti ini yang ditegakkan, maka yang akan banyak masuk penjara justru para hansip dan polisi. Sebab, merekalah yang akan sering terjebak untuk melakukan perbuatan yang menurut peraturan kaum maling merupakan pelanggaran atau mengganggu aktivitas permalingan.
            Dengan demikian, dewan guru dan kepala sekolah harus merumuskan kesepakatan khusus sebelum mengadakan forum musyawarah dengan siswa. Tetap harus ada poin-poin yang merupakan “harga mati”, sebelum musyawarah pembuatan peraturan berlangsung. Argumen-argumen untuk mempertahankannya juga sudah disiapkan terlebih dahulu. Tentu saja, bagi para pengelola pendidikan islam argumen yang harus dibawa adalah nas-nas dari ajaran Allah dan Rosul-Nya. Nilai-nilai yang merupakan harga mati adalah nilai-nilai yang bersumber dari Al-Quran dan hadist Nabi. Peraturan itu, jangan lupa, harus tetap berada di dalam koridor keseimbangan antara hak dan kewajiban semua pihak dalam proses pendidikan. Inilah salah satu contoh pentingnya budaya musyawarah dan dialog.
            Guru harus yakin bahwa musyawarah memiliki makna yang sedemikian penting. Bukan Cuma dalam hal membuat peraturan, melainkan juga dalam hal-hal lain. Umpamanya, dalam menangani pelanggaran. Bila ada siswa yang melanggar peraturan, maka sistem dialog yang adil harus ditegakkan. Sehingga, yang salah betul-betul terbukti bersalah, dan yang tidak bersalah akan terlindungi. Termasuk diantaranya adalah berdialog untuk menanyakan motif  sebuah pelanggaran. Secara lahiriah, bila sudah melakukan sesuatu yang tergolong pelanggaran, seorang anak memang harus dikenai sanksi. Namun, jika motifnya diketahui, bukan mustahil akan ada pelanggar aturan yang akhirnya bebas dari jerat hukuman. Riwayat kholifah Umar bin Khotob dapat diambil sebagai pelajaran. Beliau pernah membebaskan seorang pencuri, yang mencuri karena desakan kelaparan yang mengancam diri dan keluarganya. Khalifah Usman bin Affan dan para sahabat juga mengampuni Ubaidillah bin Umar (anak Umar bin Khotob) yang telah membunuh panglima Hormuzan, padahal Hormuzan telah masuk islam. Pertimbangannya, Ubaidillah mengira bahwa Hormuzan termasuk orang yang merencanakan pembunuhan Umar.
            Sebenarnya, tidak hanya itu manfaat suasana dialogis yang terbangun antara siswa dan guru. Manfaat lain yang lebih besar masih banyak. Karena itu, tak perlu ragu besarkanlah hati untuk mampu tampil dialogis dengan siswa. Memang, kadang hal itu berat untuk dipraktikkan. Akan tetapi, bukankah tampil garang dan otoriter terus juga tidak enak? Salah-salah kita cepat tua karenanya ..
Semoga tulisan yang berawal dari pena dan untaian kata ini dapat bermanfaat untuk semua orang yang membacanya.




Created by : Febi Yuliani Hidayat
 

0 komentar: